Selasa, 07 September 2021

It has been so long time that I did not in touch with my blog. I want to restart posting some ideas and discuss it with my friends.

Senin, 13 Januari 2020

2020 memberdayakan BLOG untuk berbagi

Pada tahun 2020 saya akan memanfaatkan 

Kamis, 03 Mei 2018

Maumere 1

Pada Minggu siang di hari Minggu terakhir bulan April, pertama aku menginjakkan kaki di Maumere ibu kota kabupaten Sikka di NTT. Panas matahari menyongsong kehadiranku disana. Kotanya nyaman, tidak bising. Ketika sampai aku dijemput seorang guru yang memang sudah kukenal dan dua orang lainnya, seorang guru dan seorang romo yang mengepalai wilayah Flores.

Kami puter-puter di kota mencari restoran yang buka dan akhirnya dapatlah. Memang sebagian toko dan restoran tidak buka di hari Minggu, dan yang membuatnya sedikit lebih sulit karena romo ingin mencari restorang yang milik muslim. Sangat terhormat keputusannya. akhirnya dapatlah sebuah restoran yang kami cari. Ramai, makanannya enak.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke kecamatan Paga, tempat pelatihan yang akan aku lakukan bersama para guru dan staf dari sekolah katolik Alvarez, Perjalanan berkelok-kelok di perbukitan. Sebelah kanan bukit dan sebelah kiri lautan terhampar bir tenang. Pohon-pohon coklat berjajar tidak teratur dan sesekali tampak jemuran biji coklat di sepanjang jalan.


Rabu, 02 Oktober 2013

Ujian Nasional adalah sajian pelajaran 'bohong' kepada generasi muda Indonesia oleh pemerintah. Bagaimana tidak? Praktek kecurangangan yang sudah secara umum diketahui masyarakat luas dan anak-anak di sekolah (ingat: sekolah sebagai lembaga formal pendidikan) oleh pemerintah melalui kementrian pendidikan dianggap tidak penting bahkan sampai 10 tahun. Awal segala kejahatan adalah kebohongan.... Generasi apakah yang akan kita cetak jika para pendidik tak bergerak??? Pendidik itu bersinggungan langsung dengan Sang Pencipta.

artikel pak Abduh Zen Kompas 3 Oktober 2013

Kamis, 3 Oktober 2013
Ujian Nasional Konvensional
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002405921
 
Oleh: Mohammad Abduhzen
 
Pada 26-27 September lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar konvensi nasional untuk membicarakan ujian nasional. Kegiatan ini jadi menarik karena, pertama, beberapa hari sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan hasil investigasinya tentang korupsi dana UN yang berjumlah miliaran rupiah dan telah berlangsung bertahun-tahun.
 
Entah dianggap lumrah atau tak relevan, tidak ada agenda ataupun butir di antara 27 hasil konvensi yang mendorong kelanjutan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. Atau, paling tidak, menyinggung upaya pencegahan korupsi dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Padahal masih segar dalam ingatan kita bahwa kisruh UN tahun 2013—menurut hasil audit inspektorat—terkait korupsi.
 
Kedua, konvensi ini semula digelar untuk membicarakan berbagai persoalan pendidikan, kemudian diciutkan jadi konvensi UN untuk mengakhiri berbagai silang pendapat. Bahkan, Kemdikbud membatasi bahasan agar tidak mempersoalkan eksistensi dan substansi UN.
 
”UN tak bisa diganggu gugat karena ada dalam undang-undang,” kata Musliar Kasim, Wakil Mendikbud. Padahal kontroversi UN selama ini adalah soal eksistensi dan substansinya. Bagaimana mungkin kontroversi itu berakhir, sementara pokok masalahnya tak dibicarakan.
 
Konvensi UN yang didahului oleh prakonvensi di tiga wilayah (Medan, Makassar, dan Bali) benar-benar ”konvensional” dalam efektivitas anggaran. Sekadar mendiskusikan teknis pencetakan soal dan persentase nilai untuk kelulusan kiranya tak perlu konvensi. Hasilnya seperti diduga: UN ditradisikan.
 
Dalam undang-undang memang disebutkan tentang evaluasi, bukan UN. Berdasarkan itu, UN selama ini ada kerancuan pada tujuan, kepada siapa evaluasi itu diberlakukan, dan siapa yang melakukan. Pernyataan UN untuk pemetaan, untuk peningkatan mutu, memacu semangat belajar, dan untuk dasar masuk pendidikan berikutnya menggambarkan kesimpangsiuran pemahaman tentang posisi UN.
UN untuk apa/siapa?
Menurut UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ada dua macam evaluasi yang sasaran, tujuan, metode, penyelenggara, serta implikasinya berbeda. Pertama, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan. Evaluasi ini dilakukan terhadap lembaga, program, dan juga peserta didik serta diselenggarakan oleh lembaga mandiri.
 
Istilah pemetaan, pengendalian mutu, dan untuk kebijakan adalah tujuan utama dari evaluasi ini. Evaluasi ”peserta didik” terkait model pengendalian mutu ini, utamanya tidak dimaksudkan untuk menguji hasil belajar. Akan tetapi, lebih pada mengevaluasi kondisi peserta didik seperti usia masuk sekolah—sehingga dapat ditentukan angka partisipasi kasar (APK), biaya personal, dan berbagai kendala yang dihadapi siswa di suatu daerah dan masalah lainnya yang terkait.
 
Namun karena salah satu indikator kualitas pendidikan adalah nilai hasil belajar, tentunya untuk pemetaan mutu nilai itu diperlukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Untuk itu, idealnya BSNP dapat memperolehnya melalui sekolah atau dinas pendidikan, yaitu hasil evaluasi yang dilakukan pendidik. BSNP tak perlu menyelenggarakan ujian nasional sendiri, apalagi dilaksanakan setiap tahun seperti UN selama ini.
 
Jika di tangan guru semua murid selalu diluluskan—seperti juga UN—sehingga nilainya tak dapat dipercaya, BSNP sebagai lembaga mandiri dapat menyelenggarakan ujian nasional sendiri dan atau melalui sampling berkala empat atau lima tahun sekali; toh mutu pendidikan secara agregat tak berubah revolusioner setiap tahun. Ujian seperti ini seharusnya tidak menentukan dan berimplikasi pada kelulusan murid karena hal itu bukan tujuannya. Perlu dicarikan model pengujian agar murid serius mengerjakannya meskipun tanpa risiko.
 
Posisi evaluasi ini lebih kurang serupa dengan penilaian lembaga internasional seperti TIMSS, PIRLS, PISA untuk mengetahui kemampuan bidang matematika, sains, dan membaca. Bedanya mungkin evaluasi BSNP lebih komprehensif dan detail karena berada dan bersama komponen lain dalam kerangka evaluasi satuan pendidikan yang akan dijadikan dasar kebijakan peningkatan mutu secara sistemis.
 
Kedua, evaluasi hasil belajar peserta didik. Evaluasi ini diselenggarakan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar murid secara berkesinambungan. Obyek evaluasi ini adalah murid yang belajar pelajaran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pihak yang mengevaluasi adalah pendidik. Untuk evaluasi ini, khazanah pendidikan kita mengenal istilah ”ulangan”: ada ulangan harian, ada pula ulangan umum. Ulangan umum diberikan pada setiap akhir semester dan jika diberikan di akhir masa sekolah disebut ujian akhir yang berimplikasi pada kelulusan.
 
UN selama ini secara gegabah mencampuradukkan kedua model evaluasi yang seharusnya dipisah, yaitu mengevaluasi hasil belajar yang seharusnya wewenang pendidik, tetapi dilakukan oleh BSNP sebagai lembaga eksternal-mandiri, dan berimplikasi pada kelulusan. Pertimbangannya barangkali efisiensi, yakni borongan: satu UN multi-tujuan. Alhasil, selain berdampak buruk, tak satu tujuan pun tercapai. Perolehan UN tak menunjukkan apa yang senyatanya.
 
Romantisme, seolah dulu kualitas pendidikan lebih baik karena ada ujian nasional (ujian negara) dan lalu merosot lantaran tak ada UN hanyalah imaji. Faktanya, situasi kebangsaan yang centang-perenang dan serba buntu saat ini jelas berkorelasi dengan kualitas pendidikan tempo dulu. Kalaupun mutu pendidikan dulu dianggap baik, itu pun belum tentu tersebab ada ujian negara, karena pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang terkait banyak faktor. Dramatisasi, seperti tanpa UN murid jadi bodoh, sekolah tak terstandardisasi, atau bahkan Indonesia terancam disintegrasi hanyalah kecemasan yang berlebihan.
Pengganti UN
 
Sebagai bentuk evaluasi, UN hanya instrumen diagnostik yang menunjang proses pendidikan. Mutu pendidikan ditentukan kualitas proses interaksi pembelajaran yang kinerja guru adalah faktor terpenting, terutama dalam perannya memotivasi dan menginspirasi murid. Kisah Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi kiranya dapat membantu pemahaman kita tentang kesejatian makna pendidikan. Oleh sebab itu, jika UN dihapuskan, pendidikan kita baik-baik saja, bahkan potensial jadi lebih baik.
 
Apabila UN dihapus, lalu apa gantinya? Pertama, (biasakan) kembali pada undang-undang: evaluasi hasil belajar murid dilakukan oleh pendidik. Di antara beberapa alternatif dapat dikembangkan seperti evaluasi mata kuliah di perguruan tinggi: kelulusan ditentukan dosen. Di sekolah, hendaklah setiap guru dapat mengevaluasi dan melakukan remedial hingga murid lulus dari mata pelajaran yang diampunya. Apabila guru asal meluluskan— sekali lagi—maka gurulah yang dibenahi.
 
Kedua, pastikan guru-guru bekerja dengan arah dan pedoman yang ditetapkan dalam standar kompetensi lulusan dan standar isi. Ketika murid diluluskan dari sebuah mata pelajaran yang ditempuhnya, seyogianya ia telah mencapai butir-butir dari standar yang ditetapkan. Untuk itu, selain kurikulum harus jelas, guru dilatih dengan benar.
 
Ketiga, untuk pengukuran dan atau pemetaan kualitas secara nasional, BSNP dapat melakukan ujian secara sampling atau ujian nasional berkala empat atau lima tahun sekali.
(Mohammad Abduhzen, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI)artik

Selasa, 01 Oktober 2013


Gundahku tak berujung
Langkah-langkahku lunglai
Tak kuasa menyaksikan arena lomba
Yang besar taruhannya
Tanpa jelas ada hadiahnya

Tawa-tawa kecil anak -anak pinngiran kota
Langkah menanjanjak anak-anak pegunungan
Kecipak riak kecil di kaki anak-anak di pesisir
Memenuhi dialog dalam jiwaku yang bertajuk
akan kemana mereka

Di singgasana para penguasa bertahan
Mengurai dengan tajuk yang sama denganku
menggunakan bahasa yang kata mereka pas
Bahasa yang tidak pernah digunakan oleh anak-anak itu

Anak-anak tetap dengan riang dan kadang dengan bosannya
menanti kehadiran sosok yang menjadi tautannya
Yang diharap membantu menggapai mimpi di jamannya
Bukan cuma ujian nasional yang akan meluluskannya

Sosok yang sering tak berdaya yang disebut guru
Guru juga membawakan tajuk yang aku pikirkan
Banyak yang  ingin menggunakan bahasanya
Bahasa yang dinikmati dan dikunyah nikmat oleh anak-anak’

Namun ternyata bahasa itu tak selalu membahagiakan rajanya
Guru bermain petak umpet agar bermakna bagi anak-anak
Agar mereka menjadi seseorang pada jamannya kelak
Tak jarang guru merubah warna dirinya bagaikan kadal
dan rela berjalan lama di siang dan malamnya
Namun ada yang merasa terlalu lelah mengikuti nuraninya
Dan memasrahkan peran pentingnya pada deretan perintah saja
Mudah dilakukan walupun hadiah buat anak-anak mungkin tiada

Yang jelas mereka tak perlu menjadi kadal untuk berubah warna
Guru mari kita mengajar anak-anak dan bukan mengajar siswa
Yang membuat kita menganggap mereka menjadi manusia
Siswa adalah deretan nama-nama yang mungkin sekedar untuk dinilai

Sedangkan anak-anak selalu dalam wujud manusia yang beraga dan berjiwa
Ujian Nasional Potre Cedera Keadilan
Itje Chodidjah
Praktisi Pendidikan
Ujian Nasional wujud dari tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena walau layanan pendidikan tidak merata ujian tetap sama. Selama lebih dari 30 tahun terjun di dunia pendidikan dan memberikan pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia, saya menyaksikan sendiri fakta yang miris bahwa pertarungan antara keadilan dan diskriminasi lebih sering berakhir dengan pertimbangan-pertimbangan politis dan keengganan untuk menegakan rasa tanggung jawab memenuhi keadilan yang proporsional bagi siswa dan guru yang hidup dengan akses geografi dan ekonomi terbatas.
Sebutlah sebuah sekolah di salah satu kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan dan tambang yang beberapa kali  saya kunjungi dalam kapasitas sebagai teacher trainer. Kondisi fisik sekolah, sarana dan prasarana yang minim, serta model pembelajaran di kelas, membuat saya makin merasakan betapa tidak adilnya mengevaluasi siswanya dengan alat ukur yang sama dengan anak-anak yang menerima layanan yang jauh lebih baik. Proses belajar mengajar terkesan asal ada, karena memang hasil akhir yang utama adalah nilai Ujian Nasional. Ruang kelas rata-rata hanya sekedar berupa ruangan persegi dengan lantai kusam dan sarana penerangan yang terbatas. Perpustakaan dan fasilitas umum lainnya terlihat sangat terbatas. Dalam situasi belajar yang timpang seperti ini, Ujian Nasional merupakan sebuah kebijakan yang tidak adil bila pemenuhan standard pendidikan nasional belum terjadi.
68 tahun silam, para founding fathers kita meyakini mimpi besar bahwa dimensi keadilan sosial merupakan pilar penting penyangga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, dalam rumusan Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dimasukan sebagai sila ke-5 sebagai salah satu dasar negara.
Ujian Nasional bukan wujud prestasi belajar
Sejak 2005 layanan pendidikan kita di sekolah bertumpu terlalu berat pada Ujian Nasional yang kemudian dianggap sebagai alat meluluskan siswa, walaupun dalam format terakhir dikompromikan persentase bobotnya menjadi 60 persen. Ujian Nasional kemudian serta merta digunakan sebagai alat untuk menstandarkan siswa di setiap jenjang pendidikan.
Sebagian besar sekolah terutama yang  dibawah kendali pemerintah menjadi berlomba-lomba untuk menyajikan nilai tinggi dari ujian nasional sebagai wujud keberhasilan sekolah. Keadaan tersebut kemudian secara kumulatif dianggap sebagai keberhasilan pemerintah kota atau kabupaten dalam membina pendidikan di wilayahnya. Di tingkat nasional, pihak kementrian pendidikan lalu seolah-olah meyakini bahwa ujian nasional adalah potret pendidikan Indonesia. Benarkah demikian? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Kalau dianggap keberhasilan sekolah, maka itu hanyalah keberhasilan semu. Munculnya statistik yang memuat nilai anak-anak lantas menjadi sah untuk menyebutkan suksesnya pendidik di daerah-daerah.
Jika hasil nilai UN siswa dianggap sebagai gambaran kompetensi individu anak didik, maka itu berbahaya karena sebenarnya angka yang diperolehnya bukan semata-mata menggambarkan keberhasilan proses belajar mangajar yang mereka alami. Dengan adanya UN, proses belajar mengajar yang saya saksikan lebih pada menggarap ana-anak agar lulus UN. Kurikulum tidak menjadi acuan mengajar. Bahan ajar dipilih-pilih agar pas dengan soal-soal yang dimunculkan di ulangan sekolah dan Ujian Nasional. Alasannya sederhana agar nilainya anak-anak bagus. Kisi-kisi UN menjadi rujukan mengajar, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dibuat tinggi agar nantinya ketika digabung dengan nilai UN hasil akhirnya tetap bagus. Akhirnya proses belajar mengajar menjadi lebih sebagai media mengambil nilai siswa dan bukan sarana membelajarkan siswa untuk berpengetahuan, mampu berfikir kritis, berkomunikasi, dan bertingkah laku.  
Layanan Timpang
Dalam kunjungan beberapa kali ke sekolah di salah satu kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan rimba dan tambang, tampak dengan jelas fakta luputnya tanggung jawab negara dalam memenuhi keadilan layanan pendidikan negara bagi rakyat. Kondisi sarana dan prasarana yang minim tampak dari kondisi fisik ruang kelas yang rata-rata hanya sekedar ruangan petak dengan lantai kusam dan penerangan temaram yang menyulitkan mata dapat membaca dengan baik. Perpustakaan seadanya dan fasilitas umum lainnya yang di bawah standar kesehatan yang layak. Guru-guru yang saya temui masih jauh dari bermutu, sudah bersedia mengajar dengan model pembelajaran yang ala kadarnya saja sudah disyukuri. Ini lebih baik daripada sudah jumlahnya hanya segelintir malah sering tidak hadir ke sekolah dan  stengahnya enggan mengajar dalam segala keterbasan yang ada.
Fakta yang saya jumpai ini hanya sedikit contoh dari lebih banyak lagi ketidakadilan yang saya saksikan di daerah lainnya. Betapa tidak adilnya para siswa dan guru yang masih harus berjuang kepayahan di pedalaman karena tak tersentuh layanan pemerintah. Mereka belajar di sekolah sarana dan prasarananya terbatas sekali, yang atap sekolahnya bocor, papan tulis pecah, jalan menuju sekolah sulit dijangkau, namun di akhir jenjang, siswanya dipaksa distandarkan lewat Ujian Nasional (UN). Mereka diukur keberhasilannya dengan alat ukur yang sama dengan sekolah-sekolah yang sudah lama tersentuh mutu dan layanan yang memadai terutama di pulau Jawa.
Kebijakan UN tidak adil bagi anak-anak yang secara geografis, budaya, dan ekonomi kurang beruntung sebab mereka diukur dengan UN yang sama dengan anak-anak yang bersekolah dengan sarana dan fasilitas yang lebih baik. Dalam situasi belajar yang timpang seperti ini, UN sebagai penentu hasil akhir merupakan kebijakan yang tidak adil bila pemenuhan standar pendidikan nasional masih terus lalai terjadi. Jika layanan pendidikan belum dipenuhi standarnya, UN tentunya tidak bisa dijadikan alat ukur keberhasilan proses pembelajaran secara nasional yang valid.
Ketimpangan layanan pendidikan antar daerah, mengakibatkan ketimpangan hasil evaluasi dengan alat ukur UN. Ketimpangan ini tidak dapat dilestarikan dan harus segera dicari solusinya. Mestinya, pemerintah lebih fokus pada pemenuhan standar layanan pendidikan seperti diamanatkan dalam PP No. 19/2005, yang sudah direvisi melalui PP No. 32/2013.
Layanan Pendidikan
Pemerintah memiliki tanggungjawab dalam rangka memenuhi tercapainya standar dan layanan pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Layanan pendidikan adalah terpenuhinya sarana dan prasarana belajar bagi siswa secara memadai, tersedianya pendidik yang berkualitas, materi pembelajaran yang mudah diakses, fasilitas sekolah, serta kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Dengan tersedianya layanan seperti ini, proses pendidikan akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi siswa agar dapat berperan aktif sesuai dengan tantangan zaman.
Dalam skema pendidikan yang bermutu, layanan pendidikan bermutu, akan melahirkan proses belajar mengajar yang berkualitas. Proses pembelajaran yang berkualitas membuat kegiatan pembelajaran menjadi bermakna dan menumbuhkan pemahaman, pengertian dan keterampilan, dan perubahan positif sikap siswa. Kekacauan dalam dunia pendidikan Indonesia terjadi karena evaluasi menjadi tujuan dari pengajaran dan pembelajaran. Padahal seharusnya evaluasi pembelajaran ditujukan sebagai indikator di dalam memperbaiki proses belajar dan mengajar.
Pembelajaran ini akan semakin berkualitas ketika proses belajar mengajar itu dilakukan oleh guru yang berkualitas. Artinya, guru  mampu merencanakan dan menyelenggarakan proses pembelajaran, dan mengevaluasinya secara objektif yang mewakili kemampuannya.
Sayangnya, pembelajaran yang seharusnya dapat lebih berkualitas menjadi pudar ketika kebijakan nasional mensyaratkan nilai UN menjadi faktor penentu kelulusan siswa. Sekolah tidak dinilai karena keberhasilan proses belajar mengajarnya bagi siswanya, melainkan hanya dinilai karena kuantitas tingginya jumlah kelulusan siswa semata. Perbaikan yang tidak mengarah pada keberhasilan untuk mencapai nilai UN yang tinggi menjadi terabaikan.
Padahal pendidikan sejatinya adalah hasil serangkaian proses pembelajaran siswa secara menyeluruh dalam aspek kognitif, emosi dan konatif yang yang seharusnya mutlak menjadi kewenangan sekolah di dalam memberikan penilaian.

Penuhi Kewajiban
Pemerintah perlu memacu kinerjanya untuk memenuhi tuntutan layanan standard minimal seperti yang diwajibkan dalam PP No. 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar evaluasi siswa secara nasional lazimnya diselenggarakan setelah seperangkat standar penyelenggaraan pendidikan di semua sekolah dipenuhi.
Kebijakan dan peraturan yang menyangkut standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan harus diwujdukan melalui sistem evaluasi dan monitor yang konsisten dari pemerintah. Standar mutu pengawas, kepala sekolah dan guru harus terlebih dahulu dipenuhi agar dapat menjalankan peran dan fungsinya secara profesional.
Ketersediaan sarana dan prasarana minimal harus diwujudkan secara merata. Standar pembiayaan dan pengelolaan pun harus memenuhi unsur keadilan, di mana kebijakan pemerintah perlu difokuskan pada pendampingan dan pengelolaan sekolah-sekolah yang secara budaya, geografis dan sosial ekonomi marginal.
Proses belajar mengajar yang baik harus terjadi di kelas-kelas. Pemerintah harus memastikan kualitas pendidik yang boleh mengajar di dalam kelas, serta memberikan pengembangan profesional yang cukup agar guru semakin terampil dan mampu memenuhi standar layanan proses belajar mengajar, dari persiapan pengajaran, sampai evaluasi.
Kedelapan standar harus dilihat dalam konteks keseluruhan. Jika delapan standar sudah merata secara proporsional, barulah pemerintah bisa melakukan standar evaluasi pendidikan, berupa UN untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia. Menstandarkan peserta didik melalui UN sebelum menyediakan secara nyata layanan pendidikan yang menjadi hak siswa merupakan sebuah pelestarian ketidakadilan.